Kesaksian Andy F. Noya: "Rencana TUHAN"
November 21, 2012 Unknown
Kesaksian Andy F. Noya: "Rencana TUHAN"
Oleh Sinar Viktori Gemilang
Sumber
"Renungan indah tentang jalan Tuhan yang
tak pernah kita duga...dan selalu indah pada waktunya," - Andy F. Noya.
Malam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur.
Pikiran saya bekerja ekstra keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang
sebanyak itu? Sampai jam tiga dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan
masalah yang saya hadapi. Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat
kakak saya berobat. Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran
kanker payudara yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua
payudaranya. Untuk itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan
sejumlah biaya untuk proses operasi tersebut.
Soal persetujuan, relatif mudah. Sejak awal
saya sudah menyiapkan mental saya menghadapi kondisi terburuk itu. Sejak awal
dokter sudah menjelaskan tentang risiko kehilangan payudara tersebut. Risiko
tersebut sudah saya pahami. Kakak saya juga sudah mempersiapkan diri menghadapi
kondisi terburuk itu. Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah
soal biaya. Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya
sebagai redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab
jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus
menghidupi keluarga dengan tiga anak. Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup
tanpa suami. Dia harus berjuang membesarkan kelima anaknya seorang diri. Dengan
segala kemampuan yang terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat
bertahan menghadapi kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga
mendukungnya secara moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai
pengganti ayah dari anak-anak kakak saya.
Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis
menderita kanker stadium empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya
mencoba menyembunyikan penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan
ketakutannya dengan mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya
selama ini. Kalau memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya. Seandainya
kakak saya lebih jujur dan berani mengungkapkan kecurigaannya pada tanda-tanda
awal kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi lain. Tapi, nasi sudah menjadi
bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia memeriksakan diri ke dokter, kanker
ganas di payudaranya sudah pada kondisi tidak tertolong lagi. Saya menyesali
tindakan kakak saya yang "menyembunyikan" penyakitnya itu dari saya,
tetapi belakangan -- setelah kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi
keputusannya. Saya bisa memahami mengapa kakak saya menghindar dari pemeriksaan
dokter. Selain dia sendiri tidak siap menghadapi kenyataan, kakak saya juga
tidak ingin menyusahkan saya yang selama ini sudah banyak membantunya. Namun
ketika keadaan yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap menghadapinya. Salah
satu yang harus saya pikirkan adalah mencari uang dalam jumlah yang disebutkan
dokter untuk biaya operasi.
Otak saya benar-benar buntu. Sampai jam tiga
pagi saya tidak juga menemukan jalan keluar. Dari mana mendapatkan uang
sebanyak itu? Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya
pada saat dokter menganjurkan operasi. "Sudahlah, tidak usah dioperasi.
Toh tidak ada jaminan saya akan terus hidup," ujarnya. Tetapi, di balik
ucapan itu, saya tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul.
Dia tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu.
Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung
mampu menemukan jalan keluar, saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah
kesunyian pagi, saya mendengar begitu jelas doa yang saya panjatkan. "Tuhan,
sebagai manusia, akal pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini.
Karena itu, pada pagi hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya
Tuhan, Engkau membuka jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari
persoalan ini." Setelah itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan
mental.
Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan,
sampai perjalanan menuju kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan
soal biaya operasi. Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan
doa saya? Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan
yakin
Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi
rupanya iman saya tidak cukup kuat sehingga masih saja gundah.
Di tengah situasi seperti itu, handphone saya
berdering. Di ujung telepon terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah
perusahaan public relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya
menjadi pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia
mengatakan terpaksa menelepon saya karena "keadaan darurat".
Pembicara yang seharusnya tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya
dapat menggantikannya. Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi
permintaan sahabat saya itu. Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara
worskshop itu sukses. Sahabat saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih.
Apalagi, katanya, para peserta puas. Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa
menjadi pembicara lagi untuk acara-acara mereka yang lain. Sebelum meninggalkan
tempat workshop, teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara.
Sungguh tak terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya
berniat menyelamatkan sahabat saya itu. Tapi sahabat saya memohon agar saya mau
menerimanya. Di tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya
tidak enak menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut
saya sudah seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai
dengan hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu. Malam
hari baru saya berani membuka amplop tersebut. Betapa terkejutnya saya melihat
angka rupiah yang tercantum di selembar cek di dalam amplop itu. Jumlahnya sama
persis dengan biaya operasi kakak saya! Tidak kurang dan tidak lebih satu sen
pun. Sama persis!
Mata saya berkaca-kaca. TUHAN, Engkau memang
luar biasa. Engkau Maha Besar. Dengan cara-MU Engkau menyelesaikan persoalanku.
Bahkan dengan cara yang tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib!
Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke
rumah sakit. Setelah operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak
saya. Dia hanya bisa menangis dan memuji kebesaran Tuhan. Tidak cukup sampai di
situ. Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan kembali kebesaran-Nya. Tanpa
sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia tempat saya
bekerja, suatu malam datang menengok kakak saya di rumah sakit. Padahal selama
ini saya tidak pernah bercerita soal kakak saya. Saya baru tahu kehadiran Surya
Paloh dari cerita kakak saya esok harinya. Dalam kunjungannya ke rumah sakit
malam itu, Surya Paloh juga memutuskan semua biaya perawatan kakak saya, berapa
pun dan sampai kapan pun, akan dia tanggung. TUHAN Maha Besar!
Tuhan YESUS mengasihi Anda..
0 komentar :
Posting Komentar